Tuesday, June 20, 2006

Camar, Mesjid, dan Gadis Cafe

Aku dilahirkan di sebuah desa yang nyaman dan asri. Penduduknya hidup dengan bersahaja, meski berada jauh dari hiruk pikuk kota. Penduduknya sangat taat beragama. Setiap sore dan malam hari, mesjid desa kami sangat ramai oleh warga yang akan melaksanakan ibadah, termasuk kami yang anak-anak.

Di dekat mesjid tersebut ada sebuah kolam yang menjadi sumber air bagi seluruh warga desa. Kebiasaan kami, sore hari menjelang salat Maghrib, selalu membersihkan diri di kolam tersebut. Sambil mandi, kami selalu memperhatikan ratusan burung yang kami sebut burung mesjid (camar) yang beterbangan diatas kepala kami dan sesekali menyentuh permukaan air. Ratusan camar ini, melakukan hal tersebut, setiap menjelang waktu shalat.

Menurut cerita dari orang tua kami, burung-burung tersebut sedang mengambil air wudhu untuk ikut bersembahyang. Pikiran anak-anak kami tentu saj menerima hal tersebut, apalagi kenyataannya camar tersebut bersarang di mesjid. Selain itu, mereka melakukannya juga ,menjelang waktu shalat.

Namun, seiring dengan waktu, desa kami menjadi tujuan wisata, andalan propinsi lagi. Imbasnya, banyak pendatang yang mencari rejeki di desa kami termasuk para gadis cafe. Karena kolam yang dekat mesjid merupakan sumber air satu-satunya, maka mau tak mau para pendatang ini (gadis cafe-red) yang rata-rata wanita muda juga menggunakannya.

Sejak saat itulah, perhatian kami mulai beralih ke gadis-gadis tersebut. Apalagi saat mereka mandi, pakaian yang dikenakannya juga sangat minim dan masuk dalam kategori tidak pantas untuk desa kami. Tetapi kami, dan warga desa lainnya, termasuk yang hendak ke mesjid menikmati pemandangan tersebut.

Sejak saat itu, camar yang biasa menjadi tontonan, kami abaikan, tak pernah lagi kami cari atau hitung jumlahnya. Menurut kami lebih asyik menyaksikan gadis-gadis mandi meski kami belum balig daripada mengamati camar.

****

Beberapa waktu yang lalu, saat kembali ke kampung, ternyata sudah banya sekali perubahan yang terjadi. Pembangunan sudah sedemikian maju. Akses informasi dan komunikasi pun sudah sangat mudah. Internet, jaringan telpon dan sinyal HP pun sudah bisa dinikmati. Selain itu, untuk hiburan di rumah, warga pun sudah tak perlu lagi membayar seratus rupiah untuk bisa menonton sebuah film. Sebab, hampi di setiap rumah terdapat televisi dengan satelit digital yang mampu menjangkau berbagai siaran baik nasional maupun internasional.

Kalangan mudanya pun tidak mau ketinggalan. Mereka tidak mau lagi makan pisang goreng dengan balutan terigu, maunya pisang goreng coklat atau goreng keju. Pakaian pun sudah menggunakan tank top dan celan jeans yang menampakkan lekuk paha. Bukan hanya itu, mereka juga telah mengenal DUGEM dan aneka macam obat-obatan terlarang.

Mungkin inilah yang didapatkan oleh para pemuda yang kuliah ke kota dan menyampaikannya ke teman-temannya yang tidak punya kesempatan untuk mengecap pendidikan. Bagi mereka, siapa pun yang tak mengenal hal-hal seperti itu, artinya tidak modern (........?)

Dilokasi wisatanya sendiri, yang dulunya hanya hutan belantara, kini sudah menjadi ruang terbuka dengan ratusan villa. berbagai saran pendukung pun sudah ada (Bangga juga dengan hal itu). Namun, ketika masuk ke dalam kawasan, ternyata didaerah yang agak terpencil terda[at berbagai cafe yang menyajikan house music dan minuman keras plus gadis-gadisnya. Padahal, kalau tidak salah kabupaten kami masuk dalam daftar daerah yang menerapkan syariat islam dan telah diakui oleh pemerintah pusat.

*****

Sehari sebelum kembali menjalani aktivitas, saya menyempatkan diri untuk melihat kolam yang dulu menjadi tempat saya bermain. Ternyata airnya kini sudah jauh berkurang. Disa-sini tampak pendangkalan. Namun, hal ini tidak berpengaruh sebab, PDAM telah menjangkau desa kami.

Ada hal ganjil terasa, ketika pengeras suara di mesjid telah mengumandangkan azn maghrib, saya tak menyaksikn lagi ratusan burung camar yang semasa saya kecil selalu menjejali langit kolam ini. Saya kembali teringat ketika kami mulai mengabaikannya dan mengalihkan perhatian ke gadis-gadis cafe itu.

Dalam pikiranku, mungkin camar itu kini mencari tempat dimana ada orang yang selalu memperhatikannya. Menyaksikan atraksinya diudara sambil sesekali menyambar permukaan air. Selain itu, jumlah jemaah di mesjid kamipun sudah mulai jauh berkuarng. Saf-nya pun kini hanya satu dan itupun tidak penuh.

Mungkinkah ini ada kaitannya. Antara camar, mesjid dan gadi cafe ?
Entahlah.......................!

Friday, June 02, 2006

pusing juga ya hidup di negara kaya' Indonesia.
terlalu banyak manusia pintarnya yang mengaku jenius padaha bisanya cuma ngomong doang....
contohnya, penanganan gempa Jogja
Pemerintah udah turun tangan, membantu korban, eh sudah dikritik !
Emang, semua bisa selesai cukup dengam sim salabim....